Monday, May 11, 2015

Everybody Loves a Life Story



for i=0 to n do
   /*do something
end for

Buat yang gak ngerti, tulisan diatas adalah algoritma perulangan. Bagi yang belom ngerti algoritma itu artinya apa, algoritma adalah suatu cara untuk melakukan sesuatu, at least that's what I can tell you about it. Kalo masih gak ngerti juga, mohon cari penjelasan yang lebih jauh tentang algoritma di internet, toh dengan baca blog gue berarti minimal lo bisa pake mesin pencari Google, karena disini gue gak mau ngisi kuliah tentang algoritma. Kalo lo masih bingung, then stop reading this because I don't want to spend my super precious time only to tell you something you can search it on Google.

Gue selalu mikir kalo hidup itu suatu anugerah dari Tuhan yang harus gue syukuri. Gue gak bakal ceramah mengenai hal itu, so keep your own thoughts about life and preach somewhere else. Tapi terkadang gue sering bertanya ke diri gue sendiri: Gue hidup buat apa? Tujuan hidup gue apa? Apa yang seharusnya gue lakuin dalam hidup gue? Dan gue gak pernah nemu jawaban yang pasti. Jawaban itu selalu berubah tiap kali gue menanyakan hal itu ke diri gue. Ketika gue lagi muak sama kehidupan gue atau lagi kesel sama hal yang terjadi di sekeliling gue, jawaban dari pertanyaan itu adalah: Gue ibarat satu komputer yang ngejalanin satu algoritma perulangan dimana gue gak tau nilai dari variabel n yang akan membuat perulangan itu berhenti. Atau mungkin n bernilai tidak terdefinisi sampe-sampe gue bakal ngelanjutin perulangan itu sampe gue capek sendiri dan akhirnya menyerah. Tapi ketika semua hal berjalan sesuai keinginan gue atau ketika gue lagi seneng, jawaban itu seketika berubah menjadi: I live for this day, I live for this moment, and so on. Jawaban itu selalu berubah seiring berjalannya waktu (please jangan komen karena kata-kata gue sok puitis). Tapi gue akhirnya dapet kesimpulan setelah gue ngelihat ke masa lalu gue sendiri.

Ketika gue masih di bangku SD, tepatnya pas kelas lima, gue terpaksa pindah dari Jakarta ke kampung gue di Serang, Banten. Please take it lightly, gue pake kata 'kampung' bukan dalam konotasi negatif, tapi karena Serang emang kampung halaman gue dan gue lebih nyaman memanggilnya kampung. Gue terpaksa pindah karena ketika itu (almarhum) Bokap gue sakit keras dan beliau merasa udah gak kuat sama kehidupan di Jakarta. Gue gak bisa bilang kalo kehidupan gue di Jakarta itu layak dan mapan, tapi setidaknya gue bahagia karena gue punya banyak temen main dan gue tinggal di kota yang (menurut gue) perkembangan kehidupannya cepet dan seru. Tentunya waktu itu gue gak berpikir panjang (ya tentu aja, gue kan masih SD!) buat menolak gagasan bokap dan nyokap. Walaupun mau gak mau gue harus nurutin keinginan orang tua, tapi gue ngejalanin itu semua dengan berat hati. Dan hal yang paling membuat gue merasa dizalimi adalah, kakak-kakak gue bisa tetep tinggal di Jakarta.

Gue adalah anak terakhir dari 8 bersaudara. Tiga orang kakak cewek dan empat orang kakak cowok. Ketiga kakak cewek gue udah menikah dan dua diantaranya udah punya anak waktu itu. Ketika bokap dan nyokap memutuskan untuk pindah, gue masih kelas 5 SD sementara 4 kakak cowok gue yang lain juga masih sekolah. Tapi gue dianggap masih terlalu kecil untuk bisa dipercayain ke kakak cewek gue (dan dengan kenyataan gue bandel setengah mati) sehingga gue harus ikut pindah. Dan gue masih inget perasaan gue waktu itu, gue marah setengah mampus.

Gue merasa dizalimi, dikhianati sama bokap nyokap gue. Gue merasa hak gue dirampas. Gue merasa seperti Sherina ketika dia harus pindah dari Jakarta ke Bandung karena orang tuanya di film Petualangan Sherina, dan lebih nyeseknya lagi, gue gak seberuntung Sherina! Gak ada tuh Derby Romero yang masih unyu-unyu yang nemenin gue main di kampung. Sepanjang jalan dalam hati gue cuma bisa nyanyi: hatiku sedih, hatiku gundah, rasa tak ingin berpisah. Hatiku bertanya, hatiku curiga, akankah kutemui kebahagiaan seperti disini?~

Oke, gue merasa jijik sama tulisan gue di atas. My soul had just threw up a little bit.

Waktu gue sampe di kampung, gue merasakan suasana yang asing banget. Gimana ya, biasa tinggal bareng 4 kakak gue yang lain di rumah petak kecil dua lantai yang dikelilingi rumah-rumah tetangga dan gedung bertingkat, tiba-tiba gue harus pindah di rumah yang lumayan gede dan gue hidup cuma bertiga sama bokap nyokap. It was suck. Satu-satunya hal yang bikin gue agak excited ketika itu adalah perlakuan bokap nyokap yang menjadikan gue pangeran biar gue betah disana. And for sure, I grew my horns and tail. Emang dasar anak setan.

Ketika gue masuk ke sekolah baru, gue harus beradaptasi dengan jadwal sekolah gue. Di Jakarta, SD gue punya embel-embel PT di belakangnya, yang berarti PETANG. Yup, It was like living in a dream. Gue masuk sekolah jam 12 siang. Tapi di kampung, sekolah dimulai pagi hari. Gue bener-bener benci bangun pagi. Tapi kemampuan persuasif dari sapu ijuk yang dipegang Bokap emang dahsyat banget. Ketika pertama kali masuk, gue diperkenalkan di depan kelas. Nama gue Saiful Bakhri, tapi semua orang di Jakarta manggil gue dengan nama Aep waktu itu, and I hated it, jadi gue memperkenalkan diri gue dengan nama panggilan Ipul. Dan gak butuh waktu lama, gue terkenal di sekolah baru.
Eh liat itu anak pindahan dari Jakarta lho!
Wah kok bisa ya dari Jakarta malah pindah kesini? 
Eh itu anak yang kemaren makan gorengan gak bayar! 
Eh itu, itu, Sadam? (Gue minta maaf atas banyaknya referensi Petualangan Sherina disini, karena waktu itu gue merasa film itu GUE BANGET!)
Di sekolah baru gue ini, gue belajar banyak hal. Boker sembarangan, belajar berenang di sungai, bolos sekolah, nyolong buah di pasar, dan masih banyak hal lainnya yang mungkin akan gue ceritain kalo gue ada waktu.

Selesai sekolah di pagi hari, gue harus lanjut ikut sekolah non-formal di siang hari. Sekolah Dohor, atau secara harfiah artinya sekolah abis sholat Dzuhur. Sekolah Dohor ini semacem madrasah ibtidaiyah (setara SD) yang didiriin buat ngajarin prinsip-prinsip dan ilmu agama. Biasanya madrasah dimulai dari jam satu siang sampe jam tiga sore. Tapi jam tersebut bisa diganti sesuka hati sama ustadz yang ngajar. Gue sering banget bolos madrasah. Berhubung semua yang ngajar di madrasah adalah kakak sepupu gue sendiri, gue dengan gampangnya bolos tanpa ada hukuman. I already knew nepotism since I was a fifth grader, my friend.

Selepas Magrib, gue harus ikut pelajaran baca Alquran di rumah Pakde. Gue gak mau sombong, tapi waktu itu, gue udah bisa baca Alquran selancar gue browsing situs bokep sekarang. Jadi gue males banget buat belajar ngaji. Tapi apa boleh buat, kemampuan negosiasi telapak tangan Bokap emang sakit, eh, sakti banget.

Secara geografis, rumah gue di kampung bener-bener deket sama rumah saudara dari nyokap. gue merasa dikelilingi oleh saudara-saudara sepupu gue sendiri. Tetangga di sebelah kiri rumah adalah keluarga bude dari nyokap. Tetangga depan rumah adalah bude dari nyokap juga. Tetangga belakang rumah gue adalah kakak sepupu dari nyokap. Anjir, setelah gue pikir-pikir, hampir semua orang di desa gue punya hubungan saudara sama gue. Jangan-jangan kalo gue nikah sama salah satu cewek di kampung gue, bisa-bisa gue nikah sama saudara sepupu sendiri!

Pas awal pindah, gue benci keseharian gue di sana. Bangun tidur, marah. Sarapan, ngambek. Ke sekolah, males. Ikut madrasah, lebih males. Sholat atau ngaji, ugh, mending gue nyolong mangga tetangga sebelah. Gue merasa sebagai korban keegoisan orang tua gue, sehingga gue melampiaskan semuanya. Tapi setelah beberapa lama, gue mulai terbiasa dengan keseharian gue yang baru dan mulai menikmati semua itu. Dan sekarang ketika gue coba inget semua hal itu, gue malah ketawa sendiri.

Gue akhirnya sadar, setiap gue inget masa-masa itu, gue selalu merasa bahwa gue adalah pihak yang paling dirugikan. Little did I know that I was not the only victim in that story. Bokap dan Nyokap gue bukan penjahat di cerita itu. Mereka juga menderita seperti halnya gue. Waktu itu Bokap sakit keras dan merasa mungkin akhir hayatnya udah dekat. Nyokap juga harus pindah karena baktinya sebagai seorang istri. Gue rasa gak gampang bagi seorang ibu buat ninggalin empat anaknya yang masih sekolah di kota sebesar dan sekejam Jakarta. Gue aja sebagai anak rantau ngerasain betapa menderitanya jauh dari orang-orang yang gue sayangin. Apalagi Nyokap gue waktu itu?

Kadang hal-hal berharga yang kita punya gak pernah kita manfaatkan sebisa mungkin. Salah satunya adalah waktu. Gue gak bisa ngulang atau cepetin jalannya waktu (setidaknya saat ini, soalnya Doctor Who belum mampir ke kamar gue), tapi gue sering lalai dan ngebuang waktu gue buat hal-hal gak penting. Padahal di luar sana ada banyak orang yang rela bayar demi punya waktu lebih. Dan jawaban dari pertanyaan gue di awal, adalah gue hidup demi orang-orang yang gue sayangi. Gue bukan orang filosofis atau bijak yang bisa bilang bahwa gue hidup lantaran gue adalah salah satu bagian dari skema besar yang udah dipersiapkan bla bla bla just get your fucking preach somewhere else, I don't fucking need it right now! Seenggaknya, ketika gue bisa ngelihat senyum lebar terpampang di muka Nyokap, disitu gue bisa lihat jelas tujuan hidup gue saat ini. I guess I don't mind living in an infinite loop, as long as I can see my loved ones happy. Jadi, gue gak perlu semedi di gua terpencil nyari wangsit buat nyari arti kehidupan. Gue gak harus keliling dunia demi mencari tahu indahnya hidup. All I need is to go on, continue with my life and enjoy the little things while it last.